Logikanya sungguh tidak ketemu, yang sakit mata dan dada, kok yang diperiksa justru bagian perangkat lunak si gadis. Tapi begitulah terapi dukun cabul Kodri, 50 tahun, dari Sragen (Jateng) ini. Gara-gara perbuatannya yang sarat pornoaksi tersebut, dia diadukan Sustini, 16 tahun, korbannya ke polisi dan kini Mbah Kodri harus mendekam di sel nan dingin.
Ini lagi kisah tentang dukun yang tidak setia pada kode etik profesi. Mengobati pasien hanya sebagai kedok, yang utama justru menikmati pasien. Asal ketemu calon korban yang cantik, akal liciknya mulai dikembangkan. Berbagai cara ditempuh dengan mengatasnamakan terapi pengobatan. Padahal sesungguhnya, dia jadi dukun sekadar: asal syahu ya tekun!
Nasib buruk akibat perbuatan amoral dukun, giliran kini dialami oleh gadis ABG bernama Sustini, pelajar SMP kelas III dari Desa Duyungan Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen. Bocah yang sedang tumbuh mengkel-mengkelnya itu menderita sakit di mata dan dadanya. Sudah diobati dengan cara tradisional tapi tak juga membaik.
Dari sekian teman dan kenalannya, kemudian ada yang memberikan saran agar Sustini berobat saja kepada mbah Kodri, dukun/paranormal dari Desa dan Kecamatan Tangen, masih kabupaten sama. Selain terapinya selalu manjur, tarifnya juga murah meriah. “Malah kalau pasiennya miskin sekali, pulang disangoni kok,” kata si informan.
Ekonomi sehari-hari yang susah, membuat Sustini menerima cara-cara pengobatan alternatip itu. Dia lalu berangkat ke Tangen dengan diantar oleh kakaknya. Setibanya di TKP segala keluhannya selama ini segera disampaikan, dan dukun Kodri mendengarkan dengan seksama, diselingi sedikit batuk-batuk untuk menambah wibawa.
Umumnya dukun, untuk terapi pengobatan selalu minta sarat kembang dan kain mori. Tapi mbah Kodri lain sendiri. Meski kembang 7 rupa juga jadi sarat utama, dia minta disediakan kain berwarna pink. Kakak lelaki Sustini tentu saja tidak tahu, karena anak desa yang kurang gaul. “Aduh ya ampun..., tolong deh! Jambon, jambon, atau merah jambu, gitu,” kata Mbah Kodri agak kesal.
Kain berwarna itupun segera didapat. Kalaupun ada kekurangan, paling ya kurang ajarnya mbah dukun? Betapa tidak? Sebab begitu tahu bodi dan wajah calon pasiennya seksi nan cemekel (enak dipegang) otaknya mendadak jadi ngeres. Asal tahu saja, meski usia baru ABG, tapi karena Sustin bertubuh bongsor jadi nampak seperti gadis beneran.
Jakun Mbah Kodri langsung turun naik, bagaikan kucing lihat bandeng presto, mau dimakan sampai tulang-tulangnya sekalian. Lantaran belum-belum sudah kontak pendulumnya, maka begitu Sustini diajak masuk ke ruang prakteknya, kakaknya diminta keluar. Kalau perlu pulang saja, nanti mbah dukun sanggup mengantarkannya.
Apa yang kemudian diperbuat Mbah Kodri dalam kamar prakteknya? Meski sudah tahu keluhan pasien pada mata dan dada, tapi dia meminta Sustini untuk melepas bajunya agar diketahui perangkat lunaknya. Padahal begitu terlepas, dukun cabul itu langsung menodainya secara paksa. “Kalau mau sembuh, kamu ya harus manut tak setubuhi,” begitu dalihnya.
Penderitaan itu belum selesai. Sustini yang sudah termehek-mehek itu lalu dimandikan kembang tujuh rupa yang dikemas dalam kain pink tersebut. Setelah itu kembali dia diminta telentang di ranjang dalam kondisi bugil. Sebilah keris lalu ditempelkan ke jidat pasiennya. Setelahnya, kembali Sustini digauli untuk kedua kalinya.
Apapun penolakan si pasien, tak dipedulikan dukun Kodri. Bahkan dia mengancam, kalau menolak praktek hubungan intim ini, katanya Sustini bisa mati diajak roh halus yang merasuk tubuhnya. “Manuta wae, wong mung arep dijak penak kok rewel (jadi harus menurut, orang mau diajak enak-enakan kok nolak),” kata dukun Kodri.
Terapi dianggap selesai dan Sustini pulang bersama kakaknya dengan dibawai kembang talon untuk disebar di halaman rumah. Lebih dari itu gadis ABG tersebut mengadukan segala perilaku dukun Kodri di atas ranjang. Tentu saja keluarganya jadi naik pitam. Mereka lapor ke polisi hari itu juga, dan beberapa jam kemudian nampak Mbah Kodri sudah meringkuk di Polresta Sragen.
Ini ngawurnya kelewatan. Sakit mata kok obatnya malah digauli.