Peletak Imaji Keindonesiaan

SATU saat yang tak pernah dilupakan Muhammad Yamin adalah ketika dia ditangkap dan diinapkan di penjara, dua tahun, tanpa peradilan, oleh bangsa yang kemerdekaannya turut dia rancang. Oleh Syahrir, Yamin dan Tan Malaka dituduh mendalangi peristiwa perebutan kekuasaan –Peristiwa 3 Juli 1946– hanya semata karena beda diplomasi dengan Belanda.

Tapi Soekarno memandang lain, dan melalui grasi, membebaskan Yamin, 1948.



Apakah Yamin kecewa? Tidak. Bagi Yamin, dalam perjuangan ada masanya, kecurigaan dan kesalahpahaman harus dibayar mahal. Dan dia siap, bahkan saat Soekarno memintanya ikut delegasi KMB, Yamin bersetuju.

Kariernya kemudian bergerak, dia menteri dalam beberapa kabinet, anggota DPR, staf Panglima Tertinggi Operasi Ekonomi Seluruh Indonesia, dan Ketua Dewan Pengawas Kantor Berita Antara (1961-1962).

Tapi karier terbesar Yamin sesungguhnya sebagai seorang sejarawan dan sastrawan.

Imaji Puitis Keindonesiaan

Yamin lahir 1903 di Bogor, dari keluarga mantri kopi, posisi yang terhormat di masa itu. Terakhir dia bersekolah di Recht Hogeschool Jakarta, meraih gelar sarjana hukum (1929). Setahun sebelumnya, dia menikahi Raden Ajeng Sundari Mertoatmodjo, dan memiliki seorang anak lelaki.

Sedari kecil Yamin hidup di tengah generasi setipe Muhammad Hatta. Tak heran, visi nasionalismenya amat kental. Dia pernah mendirikan Jong Sumatranen Bond, dan menjadi ketua. Pada 1931, ia masuk Partai Indonesia, dan menolak bekerja sama dengan Belanda.

Setelah Partai Indonesia bubar, ia membentuk Partai Gerakan Rakyat Indonesia bersama Wilopo, Amir Syarifuddin, Sumanang, dan Adam Malik, 1936. Ia kemudian masuk Volksraad, dan amat keras menyuarakan kemerdekaan Indonesia.

Satu hal yang paling hebat dari Yamin adalah visi dan pengetahuan kesejarahannya. Ia, dalam pidat0 Kongres Jong Sumatranen Bond misalnya, telah meramalkan masa depan Bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia. Ramalan dan ide yang kemudian disetujui dalam Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.

Ia juga perumus dasar negara, sebagai salah satu anggota teraktif BPUPKI. Dan gagasan dialah tentang dasar negara yang kemudian menginsiprasikan Soekarno mengonsepkan Pancasila. Bahkan, saat konsep Piagam Jakarta dituliskan, Yaminlah yang paling aktif menyusun redaksional dokumen yang amat berharga itu.

Yang tak dapat dilupakan, Yamin juga, bersama Hatta, yang menambah beberapa pasal penting dalam rancangan UUD 1945, terutama pasal-pasal hak asasi manusia.

Kejeniusan Yamin memang diakui banyak pihak. Sejarawan Taufik Abdullah bahkan menempatkannya sebagai sejarawan terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Pujian yang bukan tanpa bukti. Sepanjang hidupnya, Yamin telah melahirkan buku sejarah yang amat otoritatif. Gadjah Mada (1945), Sedjarah Peperangan Dipanagara (1945), Tan Malaka (1945) dan Kebudayaan Asia-Afrika (1955) adalah beberapa karyanya yang kian menegaskan pengetahuan kesejarahannya dan visi nasionalismenya.

Merasa tak lengkap menggambarkan visi kesejarahannya dalam buku sejarah, Yamin menulis sajak dan drama, sejak 1920. Tanah Air (1920) dan Indonesia Tumpah Darahku (1928) adalah dua kumpulan sajaknya yang paling terkenal. Ia juga menyusun drama Ken Arok dan Ken Dedes (1938) dan menerjemahkan karya-karya Rabindranath Tagore dan William Shakespeare.

Lewat beberapa naskah-naskah awalnya, sangat tampak Yamin sangat mengimajinasikan Indonesia mampu kembali ke masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit. Dia bahkan tanpa ragu menyebut Indonesia adalah Imperium Nusantara ketiga, setelah dua kerajaan itu, yang dikecam para sejarawan sebagai pengembang mitos masa lalu. Tapi Yamin tak menanggapi. Karena baginya, imajinasi puitis keindonesiaan yang di masa muda hanya ia bayangkan, telah ikut juga ia wujudkan menjadi kenyataan, sebuah bangsa yang besar, meski selalu juga menyimpan masalah yang besar.

Written by Aulia A Muhammad · Filed Under kamardunia
Tagged: BPUPKI, ken arok, muhammad yamin, sastrawan
 
berita unik